Popular

Senin, 17 Januari 2011

Ritual Buang Jung : Suku Sawang

Bulan Juni tahun 2010 lalu, saya berkesempatan melihat Ritual Adat Buang Jung. 1 bulan sebelumnya saya sudah mengunjungi desa kumbung, waktu itu kebetulan saja saya ada pekerjaan survey situs purbakala di Penutuk. Kali ini saya memutuskan untuk bermalam di kumbung untuk menyaksikan Ritual adat yang cukup popular di Bangka Belitung dan diadakan 1 tahun sekali ini oleh Suku anak laut, Suku Sawang.
Ritual Buang Jung
Suku Sawang merupakan salah satu kelompok masyarakat yang hidup dan menetap di desa Kumbung dan desa Tanjung Sangkar, kecamatan Lepar Pongok, Bangka Selatan. Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai nelayan. Turun temurun, semua kebutuhan hidup mereka tergantung dari hasil laut. Bagi mereka, laut memiliki arti yang sangat penting. Begitu pentingnya arti laut, mereka selalu memberikan persembahan kepada laut. Suku Sawang memiliki cara tersendiri untuk menentukan kapan tradisi persembahan kepada laut dilaksanakan. Bagi penyuka karya2 tetralogi Andrea Hirata, Laskar pelangi, mungkin sudah tak asing lagi mendengar nama suku sawang yang banyak diceritakan di beberapa bagian karyanya.
Ya…ritual ini memang ada di tiga daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yaitu di Belitung Timur, Bangka Tengah dan Bangka Selatan dengan prosesi yang serupa. 
Indahnya Pantai Kumbung saat laut surut
Salah satu sudut indah di Pantai Kumbung
Berangkat pukul 15.00 WIB dari kota Toboali, yang ada dalam bayangan saya pulau yang akan saya tuju ini pasti penduduknya jarang dan nyamuknya banyak wekekkek..rindu karena sudah lama tidak merasakan menjelajahi alam, dengan senang hati saya membawa semua peralatan camping, ransel kecil saya dipenuhi dengan SB (Sleeping bag),obat2an termasuk obat nyamuk semprot, senter, cemilan hingga pisau serbaguna ga’ lupa juga kamera Nikon yang  saya pastikan  bakal mendokumentasikan banyak moment menarik nantinya. Hanya satu yang agak saya kuatirkan, naik kapal laut nelayan..bayangan mabok laut sungguh membuat pikiran ga’ enak .. saya paling tidak menyukai reaksi habis mabok laut…
Dari Toboali kami menggunakan motor roda dua untuk mencapai pelabuhan sadai ± 30 menit. Sampai dipelabuhan sadai, motor kami dinaikkan keatas kapal getek, wakssss..baru kali ini saya naik kapal tradisional kayak gini, mana gerimis mulai turun..diantara rasa deg-degkan, adrenalin petualangan saya mulai muncul, sepertinya perjalanan ini bakal seru kecuali menyebrang lautan ini yang kemudian ternyata tak seseram yang saya bayangkan heehe.. indahnya pemandangan pulau tinggi dan cerita-cerita para penumpang yang menemani perjalanan malah membuat perjalanan saya jadi mengasikkkan. ± 45 menit, kami sampai di Pelabuhan Penutuk, para kuli angkut membantu mengangkat motor kedaratan. Yah… Rp. 35.000,- kocek yang dikeluarkan untuk 2 orang dan 1 buah motor termasuk ongkos angkat motor nih. Ada satu lagi angkutan pilihan menggunakan speed boat tapi biayanya jauh lebih mahal Rp 100.000,-/speed boat waktunya lebih cepat kalo cuaca dan keadaan gelombang normal ± 15 menit.  Atau jika ingin langsung ke desa kumbung dapat menuju langsung ke rute Pelabuhan Sadai-Pelabuhan Tanjung Sangkar ± 3 jam.
Keindahan Pantai Kumbung
Jung yang akan dilarungkan
Dari Pelabuhan Penutuk perjalanan belum berakhir,  kami harus lewati lagi jalan darat menggunakan sepeda motor ± 30 menit barulah kami sampai ke Desa kumbung. Waw....malam telah tiba ketika kami datang, sambutan penduduk sungguh ramah. Kami juga menginap di rumah penduduk setempat. Acara sudah dimulai, saat saya diantar kepusat acara dipantai kumbung malam itu, laut sedang pasang tapi tak mengurangi keramaian kumpulan masyarakat kumbung untuk datang. Setiap tahun, tradisi ini dilaksanakan ketika mereka mengganggap alam telah mengalami perubahan, seperti angin laut berhembus kencang dan air laut menjadi pasang. Ketika gejala alam itu terjadi, suku Sawang mulai mempersiapkan segala kebutuhan tradisi, seperti memasak makanan dan aneka kue, serta menyiapkan persembahan hasil bumi berupa beras, gula, kopi, dan mie instan. Setelah mempersiapkan aneka macam persembahan, mereka membuat perahu layar yang terbuat dari kayu pohon jeruk antu. 
Sesajen Jung

Kayu pohon itu diambil dari pulau Ibul yang terletak di seberang laut desa Kumbung. Untuk mengambil kayu pohon itu, mereka harus berlayar mengarungi laut dari desa Kumbung, kecamatan Lepar Pongok. Oleh suku Sawang, pulau Ibul diyakini sebagai tempat tinggal leluhur pertama suku Sawang. Setelah perahu itu berhasil dibuat dan dihias sedemikian rupa hingga tampak menarik, barulah aneka persembahan yang telah disiapkan sebelumnya itu diletakkan di atas perahu.
Keesokan harinya dan ketika hari tradisi telah tiba, semua suku Sawang dilarang untuk pergi berlayar dan bekerja di laut. Seperti tahun sebelumnya, tradisi sedekah laut selalu dilaksanakan di tepi pantai Kumbung Ujung Gusung, Bangka Selatan. Rangkaian acara tradisi diawali dengan pembacaan doa bersama yang dipimpin oleh tetua adat suku Sawang. Setelah berdoa, acara dilanjutkan dengan pertunjukan kesenian tradisional suku Sawang yakni Tunjang Angin.
Tari Gajah Manunggang
Tiang Jitun
 Di Bangka Selatan, setiap kali tradisi sedekah laut dilaksanakan, pertunjukan Tunjang Angin selalu dimainkan. Daya tarik pertunjukan ini yakni seorang lelaki Sawang yang memperlihatkan keahlian berdiri di atas dua buah tiang kayu. Bukan hanya sekedar berdiri diatas tiang, ia-pun menari mengikuti alunan gendang yang dimainkannya sendiri selama beberapa menit. Sementara ketinggian kayu itu mencapai lebih kurang 5 meter dari permukaan tanah. Atau biasa disebuat tiang jitun.
Karena atraksi ini relatif berbahaya, hanya lelaki pilihan ketua adat suku Sawang-lah yang boleh menjadi pemain Tunjang Angin. Setelah permainan Tunjang Angin berakhir, acara dilanjutkan dengan pertunjukan tari Gajah Manunggang yang menggambarkan sukacita suku Sawang atas keberkahan hasil laut. Selama pertunjukan berlangsung, tarian ini dominan dengan gerakan seolah mengayuh dayung perahu. Melalui gerakan itu, suku Sawang menunjukkan, sejak dulu hingga kini suku Sawang berprofesi sebagai nelayan.
Datin yang memimpin Ritual
Yups… takjub sekaligus agak serem2 juga menyaksikan ritual upacara ini dimalam hari sebelumnya, bunyi music tradisional mengiringi para penari yang di setengah sadar dan dimasuki roh halus, tapi besarnya keinginan saya menangkap moment2 tersebut mengalahkan rasa takut walau beberapa kali saya dikagetkan oleh gerakan2 para penari hehe… untungnya masyarakat yang menonton disekeliling penari dan datin (sebutan dukun yang memimpin prosesi upacara) cukup baik memberikan ruang di depan untuk saya dan beberapa teman2 jurnalis yang sedang meliput acara. Dan wangi dupa yang dibakar menambah mistisnya suasana..
Jung dibawa ke laut
Sesaat setelah acara pertunjukan itu berakhir, para tetua adat mulai melaksanakan acara inti yakni larung sesaji atau dalam bahasa tradisional suku Sawang disebut Buang Jung. Sambil diiringi pembacan doa, perahu kayu berisikan aneka makanan yang telah disiapkan sebelumnya itu dibawa ke tepian laut dan dilarung. Meskipun perahu itu mulai terbawa ombak hingga ke tengah laut, semua warga Sawang masih tetap berdiri di tepi pantai sambil memanjatkan doa kepada Sang Pencipta. 

Bagi mereka, ritual Buang Jung ini menjadi ungkapan terima kasih kepada laut dan Sang Pencipta atas hasil laut yang telah diperoleh. Mereka berharap, melalui sesaji itu, laut dapat menjaga para nelayan suku Sawang dari segala macam bencana ketika berlayar di laut. Ketika perahu sesaji itu berlayar semakin jauh terbawa ombak dan tidak lagi terlihat dari tepian pantai, barulah suku Sawang kembali ke rumah dan melanjutkan aktifitas keseharian mereka.
Dan inilah salah satu puncak acara yang dinanti2 sekaligus ditakuti para fotografer , besimbur. Awalnya besimbur sebenarnya maknanya hanyalah memercikkan air laut sebagai tanda berkah karena sajen telah dilarungkan. Tapi kemudian berkembang menjadi acara siram-siraman atau pesta air. Saya dan teman2 jurnalis dengan cekatan mengeluarkan plastic pembungkus alat-alat elektronik, kamera, kamera, alat perekam dan barang2 yang rentan airyang telah kami siapakan sebelumnya atas pemberitahuan pemuka desa setempat. Siapa yang berani mendokumentasikan moment ini dengan resiko alat rusak wkwkk…tidak ada yang luput dari siraman air. Para ksatria pembawa air akan menjelajah kampong untuk memburu korbannya, semua masyarakat ikut berpartisipasi dalam acara ini. Jadi jangan kaget kalo anda memasuki daerah ini pada saat pesta air anda tiba2 disiram di tengah jalan hahahaha….


Jangan lupa menikmati hidangan kepiting yang menjadi ciri khas kekayaan laut desa kumbung, para kepiting bertelur ini sangat banyak berada di daerah ini. sayangnya waktu saya tak banyak, sore itu saya harus kembali ketoboali..dan senang rasanya mendapatkan pengalaman unik Ritual Buang Jung di desa kumbung. Berharap tahun depan saya bisa kembali menikmati pantai kumbung dan ritualnya…^_^



4 komentar:

Anonim mengatakan...

Hmm.. sepertinya kebudayaannya tidak jauh berbeda dengan kebudayaan Jawankuno dan Bali.. mereka memberikan sesajen untuk menghormati laut mereka...

ini juga warisan budaya masyarakat Hindu yg masih ada disana sepertinya ya...?

Ikhae mengatakan...

@anonim...bisa jadi seperti itu, tapi dalam sejarahnya suku sawang tidak berasal dari agama hindu, kemungkinan kepercayaan yang dinamisme yang mereka anut, turun temurun didapatkan dari nenek moyangnya yang memang hidup ditengah laut sehingga mereka memuja roh2 yang ada dilaut....

bloggerbangka mengatakan...

saya senang kite punya budaya yang beraneka ragam cem ni...

foto a keren...

Ikhae mengatakan...

Thanks bang...
iya.....daerah kita ni kaya budaya...semoga masih banyak yang mau melestarikan dan menggali lebih dalam..biar orang lain juga ^_^