Popular

Minggu, 30 Januari 2011

Panggil Saja Kami Orang Sawang

”Di kampung kami, Belitung, ada sebuah suku (yang) kami namai Sekak. Istilah umumnya suku laut. Sekak selalu berdiam di tepi laut, di sekitar pantai, sungai, dan muara. Bertempat tinggal dalam perahu. Kalaupun punya rumah, biasanya rumah panggung yang tinggi di atas air….”
Rumah Suku Sekak
Begitulah cara Sobron Aidit (1934-2007), pengarang eksil yang sejak huru-hara politik di Tanah Air pada 1965 hingga akhir hayatnya menetap di Paris, Perancis, melukiskan sisi lain kehidupan masa kecilnya di tanah kelahirannya di Pulau Belitung. Persentuhannya dengan orang- orang suku laut yang kerap ia jumpai di sekitar Tanjung Pandan, pada masa-masa awal kemerdekaan, tampak begitu membekas dalam ingatan Sobron. Beberapa di antara anak suku laut itu bahkan menjadi temannya semasa SD.
”Dulu dinas sosial bagian suku-bangsa pernah ada ide buat ’merumahkan secara tetap’ suku laut ini. Dibuatkan(-lah) rumah secara tetap. Tetapi mereka tidak betah, akhirnya tetap saja berumah dengan perahunya, ke sana kemari antara pulau-pulau sepanjang pesisir Bangka-Belitung dan Tanjung Pinang-Riau,” tulis Sobron dalam ”Kisah Serba-serbi”-nya, yang dalam edisi 281-281 secara khusus menyoroti keseharian orang-orang suku laut di sekitar Pulau Bangka dan Belitung.
Sekak! Sebutan ini sepintas mengingatkan pada sebuah langkah menentukan dalam permainan catur, ”skak-mat”, yang membuat lawan harus berpikir keras untuk menghindar dari ”kematian”. Namun, terkait istilah Sekak oleh orang luar terhadap komunitas suku laut yang ada di wilayah perairan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, kemunculannya menjadi semacam bentuk lain dari intervensi kultural yang cenderung semakin memarjinalkan posisi mereka.
Sebutan Sekak atau Orang Sekak sesungguhnya bersifat sangat merendahkan. Inheren dengan istilah suku terasing dan atau suku terpencil yang sempat dilekatkan oleh pemerintah pada masa-masa awal Orde Baru untuk menyebut kelompok-kelompok masyarakat marjinal di negeri ini. Bahkan pada era reformasi ini pun sebutan resmi versi pemerintah (baca: Kementerian Sosial) masih tak beranjak jauh, sebagaimana bisa disimak dari serangkaian laporan tentang ”Profil Komunitas Adat Terpencil” di sejumlah daerah di Tanah Air.
Seperti halnya pelabelan Kubu atau suku Anak Dalam untuk Orang Rimba yang tinggal di pedalaman Jambi dan sebagian ”bermukim” di wilayah Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, sebutan Sekak menunjukkan adanya prasangka sosial. Meski orang-orang di Pulau Bangka dan Belitung sendiri tidak tahu persis makna dan asal usul sebutan Sekak, dalam interaksi sosial sehari-hari istilah ini hampir selalu mengacu ke hal-hal negatif.
Kuat kesan pihak pemberi label memosisikan diri lebih superior, lebih bermartabat, dan lebih berbudaya dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang dilabelinya. Sekak lebih dimaknai dan diposisikan sebagai masyarakat primitif atau terbelakang. Bahkan, dalam banyak hal, perlakuan terhadap mereka pun cenderung diskriminatif dan rasialis.
Segala perilaku yang dianggap kurang baik—tentu saja menurut pandangan orang luar, seperti hidup mereka yang dinilai boros dan suka berutang—serta-merta diasosiasikan pada orang-orang suku laut. Apa yang buruk dan jelek selalu disamakan dengan Sekak.
Ungkapan yang sudah menjadi semacam pemeo ”seperti Sekaklah kau ini” untuk menyebut individu-individu yang berperilaku negatif, semakin mengukuhkan sikap diskriminatif dan rasialis terhadap keberadaan orang- orang suku laut di daerah ini. Kelompok masyarakat yang memiliki etos kerja tinggi dan dikenal jujur ini malah tak jarang disebut juga lanun atau ilanun, yang secara harfiah berarti (keturunan) bajak laut alias perompak.
Sebaliknya, sikap dan perilaku positif yang tertanam dalam hidup mereka sehari-hari justru tidak dihargai, apalagi dijadikan acuan dalam bermasyarakat. Selain memiliki etos kerja tinggi dan jujur, orang-orang suku laut adalah pribadi-pribadi yang mandiri dan cinta damai. Meski tidak bisa dikatakan dermawan, mereka bukanlah orang-orang yang pelit untuk membantu sesama. Sifat suka menolong di kalangan orang-orang suku laut cukup menonjol.
Walaupun suka berutang, mereka bukan tipikal orang-orang yang ingkar akan kewajibannya. Tidak ada kamus ”mengemplang” utang dalam hidup mereka. Sejauh yang terberitakan ke khalayak, juga belum ada kasus pencurian yang melibatkan orang-orang suku laut sebagai pelakunya.
Ironisnya, semua sifat dan perilaku positif orang-orang suku laut tersebut seperti tak berjejak dalam interaksi sosial di mata kebanyakan anggota masyarakat luar, terkikis oleh label Sekak yang telah telanjur berkonotasi negatif. Tidak mengherankan bila sebutan Sekak atau Orang Sekak sesungguhnya tidak disukai oleh orang-orang suku laut. Apalagi lanun atau ilanun.
Kalau boleh memilih, mereka sendiri lebih suka menyebut dirinya Orang Laut. ”Kami lebih suka lagi disebut Orang Sawang. Jadi, panggil saja kami Orang Sawang,” kata Batman (72), salah satu tetua adat Orang Sawang dari Pulau Lepar-Pongok, Bangka Selatan.
Masyarakat bahari
Orang-orang suku laut yang ada di wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah bagian tak terpisahkan dari komunitas besar masyarakat Nusantara yang pola hidup sehari-hari mereka berorientasi pada ekosistem kelautan. Sebutlah seperti orang Samal, Bajau atau Bajo yang bermukim di berbagai belahan lain Nusantara, terutama di perairan Indonesia bagian timur, serta orang Mapar, Mantang, dan Pasukuan di Kepulauan Riau.
Warna kulit mereka lebih gelap dibandingkan dengan masyarakat Bangka dan Belitung pada umumnya. Postur tubuh kaum prianya tegap dan kekar, dengan rambut (kebanyakan) ikal-keriting. Bahasa yang mereka gunakan memiliki banyak kesamaan dengan bahasa Melayu. Hanya saja, setiap kata dan kalimat dilafalkan lebih cepat, bahkan terkadang seperti gumaman, sehingga sulit dipahami oleh orang luar.
Dalam bahasa prosais, novelis Andrea Hirata (Laskar Pelangi, 2008:164) melukiskan Orang Sawang bagaikan Aborigin di Australia. ”Dibandingkan orang Melayu, penampilan mereka sangat berbeda. Kulit gelap, rahang tegas, mata dalam, pandangan tajam, bidang kening yang sempit, struktur tengkorak seperti suku Teuton, dan berambut kasat lurus seperti sikat,” tulis Andrea Hirata.
Mereka biasanya hidup berkelompok dalam satuan-satuan kecil, terdiri atas beberapa keluarga inti, dan menetap sementara di suatu tempat dalam jangka waktu tertentu. Di tempat-tempat permukiman sementara itu, biasanya di tepi pantai tak jauh dari pelabuhan, mereka mendirikan semacam gubuk-gubuk bertiang yang disebut sapao.
Walaupun pemerintah sudah berupaya ”memukimkan” mereka, kebiasaan hidup berpindah dan mengembara ke tempat lain—meski hanya di kawasan perairan Pulau Bangka dan Belitung, paling jauh di pesisir pantai Kalimantan Barat—masih berlangsung hingga kini. Rumah-rumah yang disediakan pemerintah, sebutlah seperti permukiman Orang Sawang di pinggiran Dusun Kumbung di Pulau Lepar, Bangka Selatan, tak ubahnya hanya semacam tempat singgah di sela-sela musim ”pengelanaan” mereka ke sejumlah pulau dan pantai di sepanjang pesisir Bangka dan dan Belitung.
”Dalam setahun siklus pengembaraannya, kelompok-kelompok itu biasanya menjalani rute perjalanan yang tetap: dari Tanjung Labu di wilayah Pulau Bangka ke wilayah perairan Pulau Belitung, atau sebaliknya. Mereka biasanya berhenti di tempat-tempat persinggahan tetap, yang dipilih sesuai dengan perubahan musim dan pergeseran arah angin,” tutur Salim Yan Albert Hoogstad, biasa dipanggil Salim YAH, pemerhati budaya dan tradisi masyarakat Belitung yang kerap berhubungan dengan orang-orang suku laut di daerah ini.
Kian menyusut
Tidak ada data persis berapa jumlah Orang Sawang, baik yang ada di wilayah Pulau Bangka maupun di Belitung. Kebiasaan hidup ”mengembara” yang masih berlangsung hingga kini, meski dalam radius terbatas di wilayah perairan Pulau Bangka dan Belitung, boleh jadi merupakan salah satu penyebab ketiadaan data tentang keberadaan Orang Sawang di tingkat pemerintahan provinsi maupun kabupaten/kota. Belum lagi ada di antara mereka yang sudah berasimilasi dalam bentuk ”kawin campur” dengan warga masyarakat dari etnis lain.
Namun, berdasarkan hitungan kasar yang diungkapkan Batman, keseluruhan Orang Sawang yang tersebar dalam kelompok-kelompok kecil di berbagai tempat di wilayah Bangka dan Belitung saat ini diperkirakan tidak lebih dari 100 keluarga. Dalam satu keluarga Orang Sawang biasanya terdiri atas 4-6 jiwa, walaupun ada juga hanya 2 orang, seperti Batman yang tidak punya keturunan. Bila hitungan kasar Batman tidak terlalu meleset jauh, populasi Orang Sawang saat ini kurang dari 600 jiwa. Angka ini jauh berkurang dibandingkan dengan hasil sensus oleh Pemerintah Hindia Belanda di enam distrik di Pulau Belitung (Tanjong Pandan, Lingan, Sidjoek, Boeding, Badau, dan Blantoe) yang dikeluarkan tahun 1851. Dalam Staat van de bevolking op Billiton (1851), dari 5.464 penduduk Belitung yang tercatat di enam distrik tersebut, tercatat 1.654 di antaranya adalah Orang Sawang yang diterakan sebagai Orang Laut atau Sekah/Sekak.
Populasi Orang Sawang yang berhasil didata adalah mereka yang diketahui relatif sudah ”menetap” di Tanjong Pandan, Sidjoek, dan Blantoe. Di luar itu, Orang Sawang yang tetap menjalankan ritus pengembaraan mereka di laut dan pulau-pulau kecil sekitar perairan Bangka dan Belitung tentunya luput dari pendataan. Jika saja sensus tersebut bisa menjangkau keseluruhan populasi Orang Sawang, tidak terbatas mereka yang ”menetap” di tiga distrik di Pulau Belitung, niscaya catatan tentang jumlah mereka akan jauh lebih besar.
Terlepas dari itu semua, kecenderungan semakin berkurangnya populasi orang-orang suku laut di daerah ini patut dicermati. Sejauh ini memang belum ada penelitian terkait penyebab kian menyusutnya populasi Orang Sawang. Namun, pengamatan selintas memperlihatkan, perlakuan diskriminatif dan rasialis atas mereka—diakui atau tidak—secara tidak langsung ikut berkontribusi terhadap fenomena tersebut.
Setidaknya, dalam catatan tanpa data yang disajikan Andrea Hirata, tingkat kelahiran di kalangan Orang Sawang termasuk sangat rendah, sementara pada saat bersamaan angka kematian tergolong tinggi. Salim YAH yang memiliki akses dan kedekatan cukup dalam dengan komunitas Orang Sawang juga melihat kecenderungan serupa.
”Dari waktu ke waktu, populasi mereka memang semakin berkurang,” kata Salim YAH ketika menemani Kompas dan tim survei dari Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) mengunjungi ”permukiman” Orang Sawang di wilayah Desa Paal Satu dan Juru Seberang, Tanjung Pandan, akhir 2009.
Meski tidak tahu penyebabnya, kenyataan ini diakui Batman. ”Begitulah adanya,” kata Batman yang kerap diminta memimpin upacara Muang Jong, salah satu ritual Orang Sawang untuk menghormati laut dan isinya.
Mak Una (69), perempuan Sawang dari Juru Seberang yang dikenal pula sebagai pawang atau dukun dalam ritual-ritual mereka, juga menyadari hal itu. Seperti halnya Batman, Mak Una pun melihat semua itu sebagai sesuatu yang bersifat alamiah. ”Sudah ada yang ngatur,” katanya.
Selain pola dan perilaku hidup mereka yang belum sepenuhnya menetap dan kental pada kepercayaan animisme, buruknya sistem pelayanan kesehatan terhadap masyarakat marjinal ini merupakan salah satu sebab menyusutnya populasi Orang Sawang. Akses terhadap fasilitas kesehatan, terutama pada mereka yang masih hidup ”mengembara”, masih tergolong sulit.
Alhasil, setiap masalah yang berkaitan dengan aspek kesehatan—termasuk masa kehamilan dan proses melahirkan—hanya ditangani dengan mengandalkan sistem pengobatan tradisional lewat ritual-ritual khusus. Tidak heran bila fungsi dukun di tengah-tengah kehidupan Orang Sawang masih memegang peran penting.
Apa yang dialami pasangan Ani Tjatjah (80) dan Siah (78) adalah contoh nyata betapa sesungguhnya Orang Sawang belum mendapat perhatian yang layak. Pasangan yang tinggal di pinggiran Desa Kumbung di Pulau Lepar, Bangka Selatan, ini sudah sejak lama mengalami kebutaan tanpa mendapat pelayanan kesehatan sedikit pun. Bahkan, dalam beberapa kali diadakan operasi katarak secara gratis di tingkat kecamatan, tak ada pihak yang mendaftarkan mereka sebagai peserta.
Ironis? Memang! (KEN)

Kamis, 27 Januari 2011

Negeri Laskar Pelangi, Bali yang terpotong

Siapa yang tak kenal Laskar Pelangi, buah karya putra Belitung, Andrea Hirata yang melambungkan nama Belitung hingga terkenal di seluruh Nusantara, bahkan di beberapa negara. apalagi setelah diangkat kelayar lebar, jadilah Belitung diburu para wisatawan dan Backpacker sebagai destinasi wisata favorit. Pantai-pantai yang khas dengan tumpukan Batu2 granit dan pasir putihnya menjadikan Belitung sebagai Objek Kunjungan wisata kedua setelah Bali dan Lombok.

Salah satu pulau kecil di Belitung
 
Belitong juga dianonimkan dengan Bali terpotong. Konon pada ribuan tahun silam daratan itu terletak di semenanjung Pulau Bali. Namun, wilayah tersebut kemudian terpotong, dan hanyut terbawa arus gelombang besar menuju arah utara, membentuk pulau di wilayah timur Sumatera. ”Itu sebabnya dahulu orang menyebutkan dengan Belitong atau Bali yang terpotong".
Tanjung Tinggi
 tak susah untuk ke pulau belitung, dari Bangka ada akses Kapal Express Bahari yang akan membawa kita kepulau ini, biasanya berangkat sekitar pukul 13.30 WIB dari Pelabuhan Pangkalbalam, Pangkalpinang. kalo dari Jakarta via pesawat bisa mendarat diBandara Hanajuddin, Tanjung Pandan, Belitung. 
Pantai Tanjung Tinggi menjadi Destinasi yang Favorit, ditempat inilah salah satu scene Film laskar pelangi diambil. pasir yang butih dan batuan granit yang tersusun acak memberikan keunikan tersendiri. bagi penikmat kuliner hasil laut Pulau belitung dapat dinikmati di pantai ini, di rumah makan sefood yang terletak dipinggiran pantai, ada gangan, calamary, ikan bakar...sedapppppppppppp...!!

Pulau-pulau di Belitung sangatlah indah dan esotik, saya ingat waktu itu hujan dan badai dari tanjung kelayang menuju Pulau Babi tak mengurungkan niat saya untuk pergi. ternyata tekat saya tak sia-sia, pulau ini memang indah dari sinilah Tour Island biasanya dimulai kePulau Lengkuas dan pulau-pulau lainnya. keindahan taman bawah laut diantara pulau-pulau ini membuat para divers pun berdatangan menikmati keindahannya.

Shelter di Pulau Babi
Putihnya Pasir Pantai




Belitung Juga terkenal dengan cendramata batu Meteornya, konon ribuan tahun lalu ada meteor yang jatuh dipulau ini. Batu meteor ini terkenal dengan sebutan "Batu Satam".

Batu Satam


 untuk para penggemar Ikal dan teman-teman, kita bisa mengunjungi Sekolah Muhammadiyah seperti yang ada di Film Laskar Pelangi, lengkap dengan tiang penyangganya yang miring hehehhe....

SD Muhammadiyah

Kelas Murid Laskar Pelangi
Tak lepas dari ciri khas Budaya Melayu yang unik dan ramah, tak hanya keindahan alam belitung yang bisa kita lihat tapi juga merasakan keramahan masyarakatnya dan banyak makanan khas dari hasil laut yang bisa dibawa pulang sebagai oleh2. Keunikan Budaya Lokal dan Keaslian Alam belitung merupakan surga fotografi untuk para fotografer dan destinasi yang layak masuk daftar kunjungan para traveller. (lihat paket di www.levi-tour.com)



Jumat, 21 Januari 2011

Toboali, Kota Habang yang penuh keindahan tersembunyi..

Selalu banyak destinasi menarik yang ingin saya jelajahi di Bangka Belitung, seperti kebanyakan pulau-pulau di tanah khatulistiwa, Kepulauan Bangka Belitung juga kaya akan pantai-pantai indah berpasir putih yang ada disekeliing pulau. Bertugas di daerah paling selatan Pulau Bangka seakan jadi bonus ektra buat saya yang hobi travelling. Kota Toboali, ibukota kabupaten Bangka Selatan berjarak  ± 125 km dari Kota Pangkalpinang memiliki banyak destinasi menarik untuk dikunjungi.
Senja di Batu Perahu, Toboali
Kalo kita dari luar Bangka Belitung, dari Bandara pangkalpinang ada travel rute Pangkalpinang-Toboali dengan tarif Rp. 50.000,-/orang, berangkat pukul 12.00 WIb dari bandara. Kalo melalui Pelabuhan bisa naik angkot warna merah ke Pasar Pembangunan kemudian dilanjutkan lagi naik angkot warna kuning ke Terminal Girimaya (tariff sekali jalan Rp. 2.000,-/orang/rute) kemudian dilanjutkan naik bis jurusan Pangkalpinang-Toboali yang ada setiap 2 jam sekali (tarifnya Rp. 25.000,-/orang).
Saya paling suka berangkat pagi menuju Toboali, kota yang terkenal akan nanasnya yang manis dan terasinya yang enak. Nah kalo pagi kita cukup menunggu di pasar pembangunan, Jl. Jend. Sudirman. Bis paling pagi akan berangkat pukul 04.00 WIB. Kali ini saya naik bis yang berangkal pukul 04.30 WIB. Melihat sunrise di Pantai Penyak Kab. Bangka Tengah jadi salah satu tujuan saya. Selain lebih murah, naik bis memberikan kesan tersendiri lho. Supir yang ramah dan gaya khas melayunya selalu membuat saya terpukau dengan keunikan keramahan masyarakat Bangka ini. Cerita-cerita yang menarik kadang-kadang muncul dari sini. Tapi siapkan mental. Kadang2 ada beberapa supir yang ada bakat jadi pembalap, hehe..gara2 ini pula saya  juluki bis jurusan Pangkalpinang-toboali ini sebagai “Bis Balap” wkwkk
Satu setengah jam sebelum memasuki pusat kota Koba, ibukota Kab. Bangka Tengah anda akan melewati Desa kurau, kehidupan para nelayan pinggir laut terlihat sepanjang jalan…sayang bau tak enak kadang begitu menyengat, disebabkan sampah yang dibuang penduduk di laut. Rumah disini kebanyakan berupa rumah panggung yang tinggi, karena sebagian wilayah masuk di bagian pinggir laut. Singgah sebentar di Terminal Koba, dari sini bisanya para pedagang akan turun dari bis. Sekitar 15 menit bis akan istirahat diterminal ini. Mungkin anda akan heran ketika melihat Bangunan di pusat Kota yang menjulang tinggi tanpa pintu atau jendela…hehe…Yups…itu adalah Rumah Burung Walet, yups..kota ini merupakan salah satu penghasil sarang burung wallet, harganya yang cukup tinggi membuat penduduk setempat beramai-ramai beternak burung wallet. Perjalanan akan berlanjut, nahhh..bersiaplah menikmati sunrise di sepanjang pesisir pantai penyak. Pantai yang memanjang sejauh 1 km di pinggir jalan raya ini masih alami dan cantik dengan rimbunan pohon2 kelapa di pinggiiran pantainya.
Sebelum memasuki Kota Toboali, ada beberapa desa yang kita lewati, salah satunya Desa Bikang yang merupakan desa yang terkenal sebagai Penghasil nanas di Bangka Selatan. Kalo anda backpackeran yang biasanya dengan kelompok kecil atau sendirian, satu keuntungan yang disukai, dikota ini ga’ ada angkot dalam kota adanya ojek hehe.. tapi jangan takut, wisata dalam kota Toboali juga ga’ kalah menarik, dari Terminal Bis kita bisa sewa Ojek untuk berkeliling kota ini yah sekitar ± Rp. 50.000,- sampai Rp. 100.000,- lah seharian. Tujuan pertama Benteng Toboali, benteng peninggalan VOC ini diperkirakan dibangun pada  pertengahan abad ke-19. Letak benteng ini begitu strategis karena terletak pada sebuah tanjung ditepi pantai dan berada diserbuah bukit dengan ketinggian kurang lebih 15 meter, sehingga di jaman nya berdiri di gunakan sebagai benteng pertahanan dan dapat mengawasi jalur lalu lintas laut.
salah satu sudut Benteng Toboali
Tak jauh dari Benteng ini terdapat Pantai Nek Aji juga Bom Pendek yang sekaligus berfungsi  sebagai pelabuhan kecil bagi Nelayan sekitarnya. Dari Pantai ini terlihat jajaran pulau di kejauhan juga aktivitas para nelayan yang melaut. Ada juga beberapa rumah panggung yang menilik arsitekturnya ang bergaya eropa merupakan peninggalan Belanda dan bagian yang tidak terpisahkan dari keberadaan benteng. Beberapa Rumah Peninggalan Belanda Juga masih ada disekitar sana yang sekarang berfungsi sebagai Rumah Dinas Kapolsek dan Danramil Kec. Toboali salah satunya untuk taman kanak-kanak. 


Sebagian sisa reruntuhan Benteng Toboali


Hmmm…dari benteng Toboali perjalanan berlanjut ke Kuil Dewi Sin Wu… Vihara yang terkenal sekaligus berada disebuah Bangunan Tua  yang juga bergaya eropa dengan Jendelanya yang besar-besar,  dari sini kita akan menuju Gedung nasional. Gedung yang juga peninggalan jamn Belanda sekarang difungsikan sebagai Gedung serbaguna. Lelah berkeliling kota Toboali, kita bisa singgah di warung makan didekat Benteng, yang menyediakan makanan-makanan khas Bangka Selatan, lengkap dengan sambal terasinya yang mantab atau kalo ingin mencoba Mie Kuah Toboali dan Empek-Empek Cainya yang terkenal singgahlah ke warung mie mang Kucai dirawabangun, dijamin lidah anda akan bergoyang menikmati mie Kuah ikan ini. Beristirahatlah sejenak sambil menikmati pemandangan sekitar kota Toboali.

Mie Kuah Ikan khas Toboali....yummy....^_^
Empek-empek cai alias Kemplang cai...



Laut Surut di Pantai Batu Perahu
Ketika hari semakin sore, kunjungi pantai batu perahu…….keramahan penduduk setempat dapat menghilangkan penat anda sekaligus menikmati sunset di sudut Barat pantai ini yang dihiasi tumpukan batu-batu granit dan lembutnya pasir putih yang kita injak. Jika sore saat air laut surut dibeberapa sudut akan terlihat para penduduk yang mencari teritip..atau kerang-kerangan yang melekat pada batuan saat air pasang. Nahhhh….pulang dari pantai ini jika ingin bermalam dan menyaksikan pembuatan terasi, dan menikamti destinasi Bangka selatan yang lainnya anda dapat bermalam di beberapa penginapan yang tersedia dikota ini. Dengan harga paling murah Rp. 50.000,- /malam/kamar. Atau jika ingin segera kembali ke ibukota ada bis malam yang berangkat pukul 19.00 WIB.
Sekilas gambaran perlanan ke Kota Toboali…menyesuaikan waktu yang anda punya. Tunggu apa lagi jika berkunjung Ke Prov. Bangka Belitung mampirlah kekota ini….untuk melengkapi daftar travelling anda.
Salam pariwisata.

Kawin Heredek : Tradisi Kawin Massal di Bangka Selatan




Indonesia memang unik dan memiliki kebudayaan yang tak ada duanya. Seharusnya karunia Tuhan di negeri ini bisa menjadi potensi pariwisata yang tak ada habisnya untuk dikelola. Salah satunya tradisi yang ada di Desa Serdang, Kec. Toboali, Kabupaten Bangka Selatan yaitu Tradisi Kawin Massal (Nikah Massal). Beruntungnya saya bisa menyaksikan salah satu tradisi unik ini. sebenarnya pertama kali kaki saya menginjakkan kaki di Kota Toboali, saya sudah banyak mendengar cerita tentang tradisi ini yang dulunya tidak hanya diadakan disatu desa ini saja tapi hampir disemua desa di Bangka Selatan. Akan tetapi seiring perkembangan zaman yang semakin modern, makin sedikit yang menjaga kelestarian budaya ini dan salah satu yang tetap melestarikan tradisi ini adalah Desa Serdang dan Tirem.

Jarak tempuh antara Desa Serdang dengan ibu kota provinsi ± 2 ½ jam. Dan 45 menit dari kota Toboali, beruntungnya saya karena diundang oleh bapak kades untuk menyaksikan tradisi tersebut. Saat datang ke desa ini sepanjang ruas jalan desa saya melihat 8 panggung hiburan dan 8 pelaminan pengantin telah tertata dengan apik. Wahh….malam ini sepertinya masyarakat serdang akan berpesta. Acara dimulai pagi hari, tenda dan pelaminan sudah dipasang di dekat kantor desa. Masyarakat sudah berkumpul dan para pejabat dan pemuka desa sudah berada di tempat yang disediakan oleh panitia. Para pasangan pengantin yang didominasi dengan Pakaian pengantin tradisional Bangka Belitung, “Baju Mirah”  akhirnya tiba dan langsung menempati pelaminan diringi tabuhan rebana. Ternyata para pengantin perempuan semuanya berasal dari desa serdang sedangkan pengantin pria ada yang berasal dari luar kota ada juga yang dari desa serdang sendiri. Wajah bahagia sekaligus malu-malu terlihat dari pasangan para pengantin yang relatif masih muda. 
Pasangan Pengantin
Khusyuk mengikuti Upacara Adat

Upacara Adat memberikah Doa Selamat

Setelah acara pembuka dan sambutan2 oleh para pemuka desa, ketua adat mulai melakukan upacara prosesi adat. Sebelumnya ijab Kabul sudah dilaksanakan dikediaman masing2 pengantin. Ketua adat mulai membacakan doa-doa selamat sambil membawa air kelapa muda yang masih dalam tempurungnya, kemudian dipercikkan kepada pasangan pengantin dengan bunga kelapa. Dengan makna agar para pasangan pengantin dapat hidup bahagia, mawadah, warahmah dan barokah. Setelah itu ketua adat memberikan merica mentah yang digigit oleh masing2 pengantin, yang menyimbolkan bahwasanya kehidupan rumah tangga itu tak lepas dari suka duka dan pahitnya hidup. Untuk itu keduanya diharapkan dapat saling mendukung dan bersama2 menghadapinya sehingga tercipta keharmonisan dalam pernikahan. Para undangan selanjutnya memberikan ucapan selamat kepada para pasangan kawin massal dan menikmati hidangan yang telah disediakan secara beramai-ramai. Dulunya pesta ini dirayakan oleh semua penduduk, siapapun boleh singgah dan makan dirumah siapa saja. Karena semua rumah menyediakan hidangan dan kue2 untuk para tamu yang datang. Kawin Massal juga dinamakan "Kawin Hederek" artinya menikah rame2, menikah adalah acara yang sangat penting artinya bagi masyarakat, sehingga perlu disiapkan dengan matang.
Masyarakat ikut mengiringi Arakan Pengantin

Diawali dengan barisan pembawa payung kebesaran yang terbuat dari kertas dengan warna2 cerah dan bertingkat2 para pengantin diarak keliling desa dengan diiringi musik hadra...rebana dan terompet yang meriah diiringi para keluarga pengantin. setelah arak2an selesai hingga keujung desa, para pasangan pengantin ini kembali ke kediaman masing2 dan menempati pelaminan yang telah tersedia. Hiburan dimulai, masyarakat pun bergembira hingga malam tiba…
Payung Kebesaran
Tradisi ini biasanya diadakan setelah Hari Raya Idul Adha atau setelah panen lada, ataupun padi "behume" . saat2 inilah waktu yang tepat menikahkan anak2 mereka atau menghkhitan. Para pengantin baik yang telah Ijab Kabul dibulan2 sebelumnya pestanya akan dirayakan bersama2 di Tradisi Kawin Massal ini. Jadi untuk pengantin yang menikah selain di hari itu tidak boleh merayakan pernikahan, perayaan hanya boleh dilakukan bersama2 sebagai salah satu cerminan kebersamaan.
Hayooo…siapa yang mau ikut kawin massal..??lamarlah gadis2 desa serdang yang cantik2 heehehe…

Senin, 17 Januari 2011

Ritual Buang Jung : Suku Sawang

Bulan Juni tahun 2010 lalu, saya berkesempatan melihat Ritual Adat Buang Jung. 1 bulan sebelumnya saya sudah mengunjungi desa kumbung, waktu itu kebetulan saja saya ada pekerjaan survey situs purbakala di Penutuk. Kali ini saya memutuskan untuk bermalam di kumbung untuk menyaksikan Ritual adat yang cukup popular di Bangka Belitung dan diadakan 1 tahun sekali ini oleh Suku anak laut, Suku Sawang.
Ritual Buang Jung
Suku Sawang merupakan salah satu kelompok masyarakat yang hidup dan menetap di desa Kumbung dan desa Tanjung Sangkar, kecamatan Lepar Pongok, Bangka Selatan. Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai nelayan. Turun temurun, semua kebutuhan hidup mereka tergantung dari hasil laut. Bagi mereka, laut memiliki arti yang sangat penting. Begitu pentingnya arti laut, mereka selalu memberikan persembahan kepada laut. Suku Sawang memiliki cara tersendiri untuk menentukan kapan tradisi persembahan kepada laut dilaksanakan. Bagi penyuka karya2 tetralogi Andrea Hirata, Laskar pelangi, mungkin sudah tak asing lagi mendengar nama suku sawang yang banyak diceritakan di beberapa bagian karyanya.
Ya…ritual ini memang ada di tiga daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yaitu di Belitung Timur, Bangka Tengah dan Bangka Selatan dengan prosesi yang serupa. 
Indahnya Pantai Kumbung saat laut surut
Salah satu sudut indah di Pantai Kumbung
Berangkat pukul 15.00 WIB dari kota Toboali, yang ada dalam bayangan saya pulau yang akan saya tuju ini pasti penduduknya jarang dan nyamuknya banyak wekekkek..rindu karena sudah lama tidak merasakan menjelajahi alam, dengan senang hati saya membawa semua peralatan camping, ransel kecil saya dipenuhi dengan SB (Sleeping bag),obat2an termasuk obat nyamuk semprot, senter, cemilan hingga pisau serbaguna ga’ lupa juga kamera Nikon yang  saya pastikan  bakal mendokumentasikan banyak moment menarik nantinya. Hanya satu yang agak saya kuatirkan, naik kapal laut nelayan..bayangan mabok laut sungguh membuat pikiran ga’ enak .. saya paling tidak menyukai reaksi habis mabok laut…
Dari Toboali kami menggunakan motor roda dua untuk mencapai pelabuhan sadai ± 30 menit. Sampai dipelabuhan sadai, motor kami dinaikkan keatas kapal getek, wakssss..baru kali ini saya naik kapal tradisional kayak gini, mana gerimis mulai turun..diantara rasa deg-degkan, adrenalin petualangan saya mulai muncul, sepertinya perjalanan ini bakal seru kecuali menyebrang lautan ini yang kemudian ternyata tak seseram yang saya bayangkan heehe.. indahnya pemandangan pulau tinggi dan cerita-cerita para penumpang yang menemani perjalanan malah membuat perjalanan saya jadi mengasikkkan. ± 45 menit, kami sampai di Pelabuhan Penutuk, para kuli angkut membantu mengangkat motor kedaratan. Yah… Rp. 35.000,- kocek yang dikeluarkan untuk 2 orang dan 1 buah motor termasuk ongkos angkat motor nih. Ada satu lagi angkutan pilihan menggunakan speed boat tapi biayanya jauh lebih mahal Rp 100.000,-/speed boat waktunya lebih cepat kalo cuaca dan keadaan gelombang normal ± 15 menit.  Atau jika ingin langsung ke desa kumbung dapat menuju langsung ke rute Pelabuhan Sadai-Pelabuhan Tanjung Sangkar ± 3 jam.
Keindahan Pantai Kumbung
Jung yang akan dilarungkan
Dari Pelabuhan Penutuk perjalanan belum berakhir,  kami harus lewati lagi jalan darat menggunakan sepeda motor ± 30 menit barulah kami sampai ke Desa kumbung. Waw....malam telah tiba ketika kami datang, sambutan penduduk sungguh ramah. Kami juga menginap di rumah penduduk setempat. Acara sudah dimulai, saat saya diantar kepusat acara dipantai kumbung malam itu, laut sedang pasang tapi tak mengurangi keramaian kumpulan masyarakat kumbung untuk datang. Setiap tahun, tradisi ini dilaksanakan ketika mereka mengganggap alam telah mengalami perubahan, seperti angin laut berhembus kencang dan air laut menjadi pasang. Ketika gejala alam itu terjadi, suku Sawang mulai mempersiapkan segala kebutuhan tradisi, seperti memasak makanan dan aneka kue, serta menyiapkan persembahan hasil bumi berupa beras, gula, kopi, dan mie instan. Setelah mempersiapkan aneka macam persembahan, mereka membuat perahu layar yang terbuat dari kayu pohon jeruk antu. 
Sesajen Jung

Kayu pohon itu diambil dari pulau Ibul yang terletak di seberang laut desa Kumbung. Untuk mengambil kayu pohon itu, mereka harus berlayar mengarungi laut dari desa Kumbung, kecamatan Lepar Pongok. Oleh suku Sawang, pulau Ibul diyakini sebagai tempat tinggal leluhur pertama suku Sawang. Setelah perahu itu berhasil dibuat dan dihias sedemikian rupa hingga tampak menarik, barulah aneka persembahan yang telah disiapkan sebelumnya itu diletakkan di atas perahu.
Keesokan harinya dan ketika hari tradisi telah tiba, semua suku Sawang dilarang untuk pergi berlayar dan bekerja di laut. Seperti tahun sebelumnya, tradisi sedekah laut selalu dilaksanakan di tepi pantai Kumbung Ujung Gusung, Bangka Selatan. Rangkaian acara tradisi diawali dengan pembacaan doa bersama yang dipimpin oleh tetua adat suku Sawang. Setelah berdoa, acara dilanjutkan dengan pertunjukan kesenian tradisional suku Sawang yakni Tunjang Angin.
Tari Gajah Manunggang
Tiang Jitun
 Di Bangka Selatan, setiap kali tradisi sedekah laut dilaksanakan, pertunjukan Tunjang Angin selalu dimainkan. Daya tarik pertunjukan ini yakni seorang lelaki Sawang yang memperlihatkan keahlian berdiri di atas dua buah tiang kayu. Bukan hanya sekedar berdiri diatas tiang, ia-pun menari mengikuti alunan gendang yang dimainkannya sendiri selama beberapa menit. Sementara ketinggian kayu itu mencapai lebih kurang 5 meter dari permukaan tanah. Atau biasa disebuat tiang jitun.
Karena atraksi ini relatif berbahaya, hanya lelaki pilihan ketua adat suku Sawang-lah yang boleh menjadi pemain Tunjang Angin. Setelah permainan Tunjang Angin berakhir, acara dilanjutkan dengan pertunjukan tari Gajah Manunggang yang menggambarkan sukacita suku Sawang atas keberkahan hasil laut. Selama pertunjukan berlangsung, tarian ini dominan dengan gerakan seolah mengayuh dayung perahu. Melalui gerakan itu, suku Sawang menunjukkan, sejak dulu hingga kini suku Sawang berprofesi sebagai nelayan.
Datin yang memimpin Ritual
Yups… takjub sekaligus agak serem2 juga menyaksikan ritual upacara ini dimalam hari sebelumnya, bunyi music tradisional mengiringi para penari yang di setengah sadar dan dimasuki roh halus, tapi besarnya keinginan saya menangkap moment2 tersebut mengalahkan rasa takut walau beberapa kali saya dikagetkan oleh gerakan2 para penari hehe… untungnya masyarakat yang menonton disekeliling penari dan datin (sebutan dukun yang memimpin prosesi upacara) cukup baik memberikan ruang di depan untuk saya dan beberapa teman2 jurnalis yang sedang meliput acara. Dan wangi dupa yang dibakar menambah mistisnya suasana..
Jung dibawa ke laut
Sesaat setelah acara pertunjukan itu berakhir, para tetua adat mulai melaksanakan acara inti yakni larung sesaji atau dalam bahasa tradisional suku Sawang disebut Buang Jung. Sambil diiringi pembacan doa, perahu kayu berisikan aneka makanan yang telah disiapkan sebelumnya itu dibawa ke tepian laut dan dilarung. Meskipun perahu itu mulai terbawa ombak hingga ke tengah laut, semua warga Sawang masih tetap berdiri di tepi pantai sambil memanjatkan doa kepada Sang Pencipta. 

Bagi mereka, ritual Buang Jung ini menjadi ungkapan terima kasih kepada laut dan Sang Pencipta atas hasil laut yang telah diperoleh. Mereka berharap, melalui sesaji itu, laut dapat menjaga para nelayan suku Sawang dari segala macam bencana ketika berlayar di laut. Ketika perahu sesaji itu berlayar semakin jauh terbawa ombak dan tidak lagi terlihat dari tepian pantai, barulah suku Sawang kembali ke rumah dan melanjutkan aktifitas keseharian mereka.
Dan inilah salah satu puncak acara yang dinanti2 sekaligus ditakuti para fotografer , besimbur. Awalnya besimbur sebenarnya maknanya hanyalah memercikkan air laut sebagai tanda berkah karena sajen telah dilarungkan. Tapi kemudian berkembang menjadi acara siram-siraman atau pesta air. Saya dan teman2 jurnalis dengan cekatan mengeluarkan plastic pembungkus alat-alat elektronik, kamera, kamera, alat perekam dan barang2 yang rentan airyang telah kami siapakan sebelumnya atas pemberitahuan pemuka desa setempat. Siapa yang berani mendokumentasikan moment ini dengan resiko alat rusak wkwkk…tidak ada yang luput dari siraman air. Para ksatria pembawa air akan menjelajah kampong untuk memburu korbannya, semua masyarakat ikut berpartisipasi dalam acara ini. Jadi jangan kaget kalo anda memasuki daerah ini pada saat pesta air anda tiba2 disiram di tengah jalan hahahaha….


Jangan lupa menikmati hidangan kepiting yang menjadi ciri khas kekayaan laut desa kumbung, para kepiting bertelur ini sangat banyak berada di daerah ini. sayangnya waktu saya tak banyak, sore itu saya harus kembali ketoboali..dan senang rasanya mendapatkan pengalaman unik Ritual Buang Jung di desa kumbung. Berharap tahun depan saya bisa kembali menikmati pantai kumbung dan ritualnya…^_^



Sabtu, 15 Januari 2011

Muntok, Kota Sejarah Pembuangan Bung Karno

Mobil BN 10 kendaraan Bung Karno dalam pengasingan
Perjalanan menjelajahi Pulau Bangka berlanjut, kali ini kaki saya melangkah ke Bumi Sejiran Setason, Kota Muntok. Daerah bagian Barat Pulau Bangka ini terkenal dengan  Sejarah Pengasingan Presiden Sukarno.
Pagi mendung mengiringi  perjalanan saya ke muntok atau lebih sering disebut mentok oleh lidah masyarakat Bangka Belitung. Dari Pangkalpinang menuju muntok menempuh perjalanan kurang lebih 3 jam menggunakan bis umum dengan tarif Rp. 25.000,-/orang. Transportasi menuju kota ini cukup banyak, jika dari bandara pangkalpinang ada travel khusus rute pangkalpinang-mentok yang bisa menjadi alternative pilihan. Satu hal yang selalu saya sukai dari tiap trip di pulau Bangka Belitung, keramahan khas melayu selalu tampak pada supir, kernet bis maupun penumpang, celetukan berbahasa daerah hingga cerita mengenai handai taulan seringkali  membuat  saya tersenyum simpul, sekaligus mengagumi budaya silaturahmi yang begitu unik di provinsi ini. Berangkat Pukul 08.30 WIB dari Kota Pangkalpinang saya tiba di Kota Muntok pukul 11. 45 WIB, Wokee..petualangan dimulai…
Diantar seorang teman dari Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Informatika Bangka Barat mulailah saya memulai perjalanan di kota sejarah ini, hmmm…Muntok memang mengesankan, pertama memasuki kotanya saja, mata saya sudah dimanjakan dengan banyaknya bangunan rumah bergaya colonial Belanda, mengingatkan saya akan kota lama di semarang. Destinasi yang pertama saya kunjungi adalah Bukit Menumbing. Berjarak sekitar 10 km dari Kota Muntok. Tiba di Pos pertama  kami melaporkan kedatangan kami di pos masuk ke kawasan Bukit Menumbing ini. Tarif masuk kawasan juga terjangkau Rp. 2000,-/ orang. Menuju tempat ini kita akan melalui hutan-hutan yang asri dan jalan yang menanjak dan cukup terjal, berkelok2, ada beberapa pemandangan unik disepanjang perjalanan, seperti beberapa pohon2 yang tumbuh diantara celah2 bebatuan bahkan ada yang akarnya membungkus batu2 dikarenakan proses alam yang bertahun-tahun. Bahkan dibeberapa sudut belokan pemandangan hijau pegunungan dan kota muntok akan terlihat dari atas, termasuk area-area penambangan timah. 
Bangunan kuno pos penjagaan menyambut kami di eks Hotel Menumbing, arsitektur bangunan bergaya Belanda dan menyerupai benteng-benteng pertahanan terlihat dibeberapa tempat di komplek ini. Disinilah sang proklamator pernah berdiam, sebuah mobil kuno dengan Plat Nomor Kendaraan BN 10 menghiasai salah satu sudut rumah. Disini kita juga bisa melihat tempat kerja Bung karno, foto-foto beliau beserta tempat tidurnya.  Komplek disekitar bangunan ini beberapa masih kokoh dan terawatt dengan baik, tapi banyak juga yang sudah hancur, pengunjung yang datang cukup banyak juga, bahkan tidak lama kami turun kembali ke kota muntok karena akan ada rombongan sepeda tour Wisata TINS TOUR yang akan naik ke menumbing.
Dari bukit menuju pantai, kali ini saya diajak mengunjungi salah satu Pantai yang juga menjadi saksi sejarah di Kota muntok, Pantai Tanjung Kelian, dari kejauhan sudah terlihat Mercu suar yang menjadi salah satu ciri khas keberadaan pantai ini. Memasuki kawasan Tanjung Kelian kita akan melewati Pelabuhan Kota Muntok, dari tepi2 Pantai tanjung kelian, bisa dilihat banyak bangkai-bangkai kapal yang berserakan, menurut sejarahnya itu adalah bangkai-bangkai kapal jaman penjajahan belanda.  Di sudut kiri pantai, lalu lalang kapal-kapal ekspres angkutan penumpang menutu Palembang bisa kita lihat. Ya, Muntok yang terletak di Bagian Barat Pulau Bangka ini juga menjadi jalur penyebrangan menuju Palembang, hanya 2 jam perjalanan menuju Palembang dengan kapal cepat. 

Bila kuat, anda bisa juga menikmati pemandangan laut dan kota muntok dari  menara mercu suar yang ada di Pantai Tanjung Kelian. Di Pantai ini juga di bangun Prasasti peringatan sebagai ucapan terima kasih pada kapal bantuan kesehatan Australia.
Dari Pantai Tanjung Kelian, perjalanan kami berlanjut menuju Pantai Bakit, Pantai ini sudah terkelola dengan baik sebagai Pantai wisata rekreasi, pemandangan yang indah agak terganggu dengan kehadiran Kapal isap yang beroperasi dibibir pantai. Ditempat ini tersedia juga arena bermain, Flying Folk, juga rumah makan bergaya rumah panggung tradisional yang menyediakan menu seafood yang jelas berasal dari hasil laut yang masih segar, ada juga aula berbentuk rumah tradisioanal beratap rumbia yang sering dijadikan tempat2 acara atau pertemuan.  Sambil menikmati pemandangan dibibir pantai, saya dan teman2 ditemani juga dengan otak-otak bakar yang dijual penduduk setempat.hmmmmmm..sungguh MANTABBBBBBBBS…
Wisma Ranggam
Wisma Ranggam menjadi Tujuan berikutnya, Bangunan tua yang kusam ini terletak di tepi jalan utama Desa Sungai Daeng, Mentok, Bangka. Di rumah ini tersedia delapan kamar tidur dengan satu aula besar yang pernah digunakan 8 pemimpin nasionalis founding father Indonesia selama masa pengasingan 1948-1949. Bangunan ini didirikan tahun 1827 oleh Banka Tin Winning, perusahaan timah Belanda.
Pukul 17.15 WIB, tanpa terasa hari mulai sore tapi langit masih cerah, sebelum kembali kerumah kami diajak memutari dermaga kota Muntok, Pelabuhan Peltim, disinilah banyak masyarakat menghabiskan sore hari sambil menikmati pemandangan matahari terbenam diufuk barat. Sungguh indah.
Melewati komplek Timah dan Pabrik Peleburan dan Pencetakan timah. Disinilah biji2 timah sebangka Belitung diolah menjadi balok-balok timah yang siap jadi untuk dikirim ke sentaro penjuru dunia. Pabrik yang beroperasi sejak jaman penjajahan belanda hingga kini. Setelah memutari komplek pertimahan kami kembali kerumah. Rumah yang menjadi tempat bermalam saya di kota Muntok kali ini juga cukup mengesankan, saya terima kasih sekali dengan teman saya fitra yang mengizinkan saya untuk menginap dirumah pamannya, selain gratis tentunya rumah tempat saya menginap sungguh masih asli bergaya belanda, lengkap dengan jendelanya yang besar2, lantai yang tinggi, dan kamar-kamar yang besar dan luas, bahkan kamar mandinya juga luas hehehe, serasa hidup jadi none2 belanda. Menurut sang empunya rumah, rumah ini terbilang baru beberapa kali direnovasi, hanya ditambahi ruangan pada bagian dapur saja. Sementara ruangan2 depan masih sama seperti aslinya. Waw…kalo dijogja rumah2 kuno seperti ini sudah jadi home stay hehehe.. ( Jadi ingat Vogels, rumahnya Om Cristian Awuy dikaliurang salah seorang pelopor Ekowisata di Jogjakarta yang penuh dengan Turis asing ).


Perjalanan yang panjang siang tadi, membuat saya cukup lelah dan lebih cepat beristirahat. Rencananya malam itu saya masih ingin menjelajah kota muntok melihat muntok dimalam hari, tapi dikarenakan teman saya dari dinpar mendadak sakit, terpaksa saya menunggu pagi hari untuk melanjutkan aktivitas.

Tak sabar ingin melihat bangunan-bangunan sejarah dalam kota muntok, pukul 06.00 WIB saya sudah rapi jali didepan rumah. Waktu yang singkat ingin saya manfaatkan sebaik mungkin, karena pukul 08.00 WIB saya harus segera kembali ke Ibukota Provinsi, Pangkalpinang. Destinasi Pertama yang saya kunjungi adalah Mesjid Jami’ dan Klenteng Kong Fuk Miau. Uniknya Kedua Tempat Peribadatan berbeda ini terletak bersebelahan, gaya bangunan atap masjid jami’ juga memiliki sentuhan China,  Jelas sekali pemandangan unik ini mencerminkan kerukunan umat beragama di Kota ini. Coba baca salah satu artikel mengenai bangunan ini :
 
Persaudaraan Tionghoa - Melayu di Bangka Belitung.

Sumber:Kompas
http://www.bangkapos.com/detail.php?section=1&category=47&subcat=146&id=16841

KOTA Muntok tahun 1885. Tumenggung Kertanegara II, penguasa wilayah Bangka, berhasrat membangun masjid besar di kampung halamannya sendiri. Masjid yang dikenal dengan nama Masjid Jami’ Muntok itu dibangun persis di sebelah Kelenteng Kuang Fuk Miau.
Kelenteng Kuang Fuk Miau itu sudah ada sejak tahun 1820-an. Dalam buku Sejarah Masjid Jamik Muntok yang ditulis Raden Affan, tokoh masyarakat di Muntok, Kabupaten Bangka Barat, disebutkan, masjid yang usianya lebih dari satu abad itu dibangun secara bergotong royong. Demi mendirikan masjid, penduduk Muntok dan sekitarnya bekerja sukarela tanpa diupah.
Dana untuk membangun masjid dikumpulkan bersama. Para hartawan di Muntok menyumbang uang atau bahan bangunan untuk keperluan masjid. Mereka mendatangkan ahli bangunan dari berbagai daerah di Bangka dan Belitung, juga memesan bahan baku berkualitas dari Jakarta, seperti genteng, batu bata, batu marmer, dan batu pualam.
Pendirian rumah ibadah pada masa itu tidak hanya melibatkan masyarakat Melayu yang beragama Islam. Zhong A Tiam, seorang mayor China yang bertugas mengurus warga China perantauan di Muntok, ikut memperkokoh bangunan masjid. Dengan harta pribadinya, sang mayor menyumbang empat tiang utama penyokong bangunan masjid. Tiang itu terbuat dari kayu bulin yang konon lebih kuat daripada kayu jati.
Meski A Tiam beragama Konghucu, ia ikut membantu lancarnya pelaksanaan ibadah di masjid. Untuk keperluan beribadah pada malam hari, sang mayor menyuruh orang untuk mengantarkan minyak kelapa sawit sebagai bahan bakar penerangan di masjid yang selesai dibangun dalam kurun waktu dua tahun itu, yaitu pada tahun 1887.
Kedekatan kelenteng dan masjid di Muntok menjadi simbol persaudaraan antarumat beragama, khususnya Konghucu dan Islam di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Etnis terbesar yang mendiami dua wilayah kepulauan itu adalah Melayu dan Tionghoa. Sampai sekarang, kerukunan itu masih terjaga.
Seratus tahun kemudian, setelah pendirian masjid di Muntok, pada tahun 2002 di Desa Jeliti, kota Sungailiat, Kabupaten Bangka, didirikan tiga rumah ibadah, yaitu Masjid Baiturahman, Kelenteng Dewi Kuan Yin, dan gereja. Ketiga rumah ibadah ini masing-masing hanya berjarak sekitar 50 meter.
Menurut Ajam (60), pengurus kelenteng, ketiga rumah ibadah itu didirikan oleh Hermanto Wijaya, seorang guru bahasa Mandarin di Sungailiat. Hermanto mendirikan Kelenteng Dewi Kuan Yin sebagai bentuk pemujaan terhadap dewi berparas cantik dan punya sifat welas asih ini.
Kelenteng Dewi Kuan Yin tak hanya dikunjungi umat Konghucu, tetapi juga penganut agama lain. Menurut Ajam, pengunjung biasanya datang ke kelenteng untuk mengambil air sumur dan mandi di kolam.
”Bagi yang percaya, air sumur bisa menyembuhkan penyakit dan air kolam bisa membuat awet muda,” kata Ajam. Karena pengurus masjid belum terbentuk, untuk sementara Ajam yang beragama Konghucu ini setiap hari merawat dan membersihkan masjid.
Lusiana Indriasari & Ilham Khoiri, Kompas cetak.
 Setelah mendokumentasikan beberapa sudut bangunan mesjid dan kelenteng, tak lupa saya mampir ke warung kue di sudut jalan, waw…beragam jenis kue-kue tradisional dijual disini, pantas saja kota ini mendapat julukan Kota Seribu Kue bersamaan dengan pemecahan Rekor Muri Kota Seribu Kue beberapa bulan yang lalu di Muntok. Sarapan pagi saya diisi dengan panganan-panganan kue tradisional Muntok. Dari sini perjalanan saya berlanjut ke Rumah Mayor China, walau agak kecewa karena tidak bisa masuk saya cukup puas melihat arsitektur bangunan ini dari luar pagar.  

Historical Places in The Muntok City"RUMAH MAYOR"

Kehadiran awal orang Tiong Hoa di Bangka. Kejayaan dinasti QING (1644 – 1912) di Cina dengan keempat kaisar nya selama hampir 300 tahun membawa berkah ekonomi bagi negeri tetangga di Asia Tenggara. Diawali dengan masa pemerintahan kaisar Kangxi yang langgeng selama 61 tahun sejak 1661 hingga 1722, dilanjutkan oleh sang... cucu; kaisar Qianglong yang memegang tampuk kekuasaan selama 60 tahun, sejak 1736-1796 membuat negeri Cina mengalami kemajuan dalam berbagai bidang seni dan budaya, dunia ilmu pengetahuan dan administrasi pemerintahan yang efisien. Ratu Dowager Cixi; selir tingkat lima penerus takhta bahkan secara de facto mampu bertahan selama 47 tahun dari tahun 1861-1908. Kemakmuran Cina pada masa dinasti Qianglong menyerap banyak produk dari negeri-negeri sekitar, termasuk timah Bangka dan Belitung. Cina membutuhkan timah bagi keperluan membuat kertas dupa untuk acara persembahyangan, dicampur dengan logam lain timah akan menurunkan produk berupa kaca, cangkir, tempat lilin dan bejana, dan tak lupa bahwa mata uang logam Cina mengandung 5% timah. Walhasil timah tak ubahnya “sembako” bagi Cina. Adalah orang Tiong Hoa yang sama kita ketahui berperan besar dalam membangun ekonomi Bangka berbasis sumber daya mineral timah. Dan Bong Hu But lah ahli dari Cina pertama yang diberi kuasa penuh mencari timah di wilayah Mentok hingga ke Bangka Utara, ke Bunut hingga ke Belinyu. Tiong Hoa berikutnya Boen A Siong, Oen A Siong alias Oen A Sing adalah ahli dan sekaligus kepala pekerja Cina. Pada masa penaklukan Inggris hampir 1600 pekerja Cina dikapalkan ke Mentok untuk membangun barak dan bertani. Kehadiran Belanda di Bangka setelah Inggris; mengimport penambang timah dari Guangdong hingga tercatat ditahun 1823 ada 4,000 penambang Cina (sedikit wanita dan anak-anak), dan pada masa ini hampir ada 3,000 kampung Tiong Hoa di Bangka. Tahun 1845 penambang Tiong Hoa dan pria dewasa Tiong Hoa sesuai dengan asalnya berjumlah: 4,178 Singkeh atau Hakka, 278 Hoklo (Chaozhou), dan 754 Peranakan. Diantara Cina Peranakan ada 28 Muslim. Tahun 1850 jumlah penambang Tiong Hoa di Bangka 5000 orang, meningkat 2000 – 3000 orang setiap tahun hingga tahun 1900. Ada 200 tambang operasi di Bangka, sehingga ada 9,000 Tiong Hoa di Bangka – diluar pria penambang ada 1,277 wanita dewasa, 1,010 anak lelaki dan 934 anak perempuan usia dibawah 12 tahun. Dan pada tahun 1852 jumlah orang Tiong Hoa di Bangka meningkat menjadi 14,000 orang, dimana tiga seperempatnya adalah pria dewasa pekerja tambang.
Peran saudagar timah Tiong Hoa: Era 100 tahun antara 1832-1932 adalah era kejayaan tauke timah Tiong Hoa yang berpangkat Letnan, Kapiten atau Mayor di Bangka. Tan Hong Kwee adalah kapten Tiong Hoa di Mentok tahun 1832 – 1839. Kemudian ada Lim Tja Sim; pengawas tambang timah di Toboali dan Koba. Berlanjut kepada Tan Kong Tian berpangkat Kapten. Diikuti oleh Lim Boe Sing tauke besar yang sempat merugi sewaktu mendatangkan kuli dari Tiongkok diawal 1900. Pengganti Tan pada tahun 1895 adalah mayor Tjoeng A Tiam, yang menjadi Letnan ditahun 1863. Dan mayor Tjoeng lah yang membangun rumah besar yang sampai hari ini masih tegak berdiri, dikenal sebagai RUMAH MAYOR di Mentok. Adapun Lim A Pat berperan di awal 1900, salah satu the big boss, berpangkat Letnan di Mentok Maret 1896 dan KAPTEN hingga 1915. Lim A Pat dikenal pula sebagai pemrakarsa pendirian sekolah THHK, Tiong Hoa Hwe Koan (PY: Zhonghua Huigian, Chinese Association) di Pangkalpinang tahun 1907. Dilanjutkan di Belinyu tahun 1908, Sungailiat tahun 1910, dan Toboali tahun 1912. Tauke Cina terakhir diantara tahun 1837 – 1935 adalah dari marga Bong. Perwira terakhir adalah Bong Joeng Kin (1927-1942) di Pangkalpinang. Setelah Perang Dunia II berakhir, maka berakhir masa Mayor, Kapten dan Letnan Belanda. Diantara para letnan, kapten dan mayor inilah terdapat nama seorang mayor dari keluarga Oen yang lengkapnya adalah: Majoor titulair der Chineezen Oen Kheng Boe (1870 – 1925), pemilik bioskop Banteng atau kala itu dikenal sebagai bioskop Hebe (nama dewi kaum muda dalam mitos Yunani).(GENI.COM)

Waktu berjalan begitu cepat, dan perjalanan saya hanya bisa sebatas hari ini, belum puas rasanya menikmati kota Muntok. Kota ini memang memberikan atsmosfir tersendiri, satu hari tidaklah cukup untuk menjelajahi kota sejarah ini. Jika anda berkunjung kesini anda akan merasa terbawa ke kota masa lampau, Kota yang penuh dengan rumah-rumah bergaya Kolonial. Perjalanan saya ke Bagian Barat Pulau Bangka kali ini memberikan kesan dan kenangan tersendiri, menambah daftar cerita pengalaman travelling saya disalah satu Pulau di Tanah Khatulistiwa, INDONESIA. Bangga rasanya memiliki Tanah Air yang Kaya, baik alam, budaya maupun sejarahnya. Hmm… suatu saat saya akan kembali lagi kekota ini menuntaskan destinasi-destinasi lainnya yang belum terjamah. Menurut cerita Pamannya fitra masih banyak lokasi Pantai-pantai yang alami disudut-sudut Kota Muntok yang indah dan beliau bersedia mengantarkan kami jika kami kembali ke Muntok di lain hari. Oke…Muntok, Tunggu saya kembali lagi menikmati sudut2mu…
Jika anda berwisata ke Bangka Belitung, Jangan lupa masukkan Kota ini sebagai salah satu destinasi kunjungan anda. Seluas apa pariwisata kita, seluas kita menjelajahinya…
Salam pariwisata…