Popular

Minggu, 30 Januari 2011

Panggil Saja Kami Orang Sawang

”Di kampung kami, Belitung, ada sebuah suku (yang) kami namai Sekak. Istilah umumnya suku laut. Sekak selalu berdiam di tepi laut, di sekitar pantai, sungai, dan muara. Bertempat tinggal dalam perahu. Kalaupun punya rumah, biasanya rumah panggung yang tinggi di atas air….”
Rumah Suku Sekak
Begitulah cara Sobron Aidit (1934-2007), pengarang eksil yang sejak huru-hara politik di Tanah Air pada 1965 hingga akhir hayatnya menetap di Paris, Perancis, melukiskan sisi lain kehidupan masa kecilnya di tanah kelahirannya di Pulau Belitung. Persentuhannya dengan orang- orang suku laut yang kerap ia jumpai di sekitar Tanjung Pandan, pada masa-masa awal kemerdekaan, tampak begitu membekas dalam ingatan Sobron. Beberapa di antara anak suku laut itu bahkan menjadi temannya semasa SD.
”Dulu dinas sosial bagian suku-bangsa pernah ada ide buat ’merumahkan secara tetap’ suku laut ini. Dibuatkan(-lah) rumah secara tetap. Tetapi mereka tidak betah, akhirnya tetap saja berumah dengan perahunya, ke sana kemari antara pulau-pulau sepanjang pesisir Bangka-Belitung dan Tanjung Pinang-Riau,” tulis Sobron dalam ”Kisah Serba-serbi”-nya, yang dalam edisi 281-281 secara khusus menyoroti keseharian orang-orang suku laut di sekitar Pulau Bangka dan Belitung.
Sekak! Sebutan ini sepintas mengingatkan pada sebuah langkah menentukan dalam permainan catur, ”skak-mat”, yang membuat lawan harus berpikir keras untuk menghindar dari ”kematian”. Namun, terkait istilah Sekak oleh orang luar terhadap komunitas suku laut yang ada di wilayah perairan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, kemunculannya menjadi semacam bentuk lain dari intervensi kultural yang cenderung semakin memarjinalkan posisi mereka.
Sebutan Sekak atau Orang Sekak sesungguhnya bersifat sangat merendahkan. Inheren dengan istilah suku terasing dan atau suku terpencil yang sempat dilekatkan oleh pemerintah pada masa-masa awal Orde Baru untuk menyebut kelompok-kelompok masyarakat marjinal di negeri ini. Bahkan pada era reformasi ini pun sebutan resmi versi pemerintah (baca: Kementerian Sosial) masih tak beranjak jauh, sebagaimana bisa disimak dari serangkaian laporan tentang ”Profil Komunitas Adat Terpencil” di sejumlah daerah di Tanah Air.
Seperti halnya pelabelan Kubu atau suku Anak Dalam untuk Orang Rimba yang tinggal di pedalaman Jambi dan sebagian ”bermukim” di wilayah Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, sebutan Sekak menunjukkan adanya prasangka sosial. Meski orang-orang di Pulau Bangka dan Belitung sendiri tidak tahu persis makna dan asal usul sebutan Sekak, dalam interaksi sosial sehari-hari istilah ini hampir selalu mengacu ke hal-hal negatif.
Kuat kesan pihak pemberi label memosisikan diri lebih superior, lebih bermartabat, dan lebih berbudaya dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang dilabelinya. Sekak lebih dimaknai dan diposisikan sebagai masyarakat primitif atau terbelakang. Bahkan, dalam banyak hal, perlakuan terhadap mereka pun cenderung diskriminatif dan rasialis.
Segala perilaku yang dianggap kurang baik—tentu saja menurut pandangan orang luar, seperti hidup mereka yang dinilai boros dan suka berutang—serta-merta diasosiasikan pada orang-orang suku laut. Apa yang buruk dan jelek selalu disamakan dengan Sekak.
Ungkapan yang sudah menjadi semacam pemeo ”seperti Sekaklah kau ini” untuk menyebut individu-individu yang berperilaku negatif, semakin mengukuhkan sikap diskriminatif dan rasialis terhadap keberadaan orang- orang suku laut di daerah ini. Kelompok masyarakat yang memiliki etos kerja tinggi dan dikenal jujur ini malah tak jarang disebut juga lanun atau ilanun, yang secara harfiah berarti (keturunan) bajak laut alias perompak.
Sebaliknya, sikap dan perilaku positif yang tertanam dalam hidup mereka sehari-hari justru tidak dihargai, apalagi dijadikan acuan dalam bermasyarakat. Selain memiliki etos kerja tinggi dan jujur, orang-orang suku laut adalah pribadi-pribadi yang mandiri dan cinta damai. Meski tidak bisa dikatakan dermawan, mereka bukanlah orang-orang yang pelit untuk membantu sesama. Sifat suka menolong di kalangan orang-orang suku laut cukup menonjol.
Walaupun suka berutang, mereka bukan tipikal orang-orang yang ingkar akan kewajibannya. Tidak ada kamus ”mengemplang” utang dalam hidup mereka. Sejauh yang terberitakan ke khalayak, juga belum ada kasus pencurian yang melibatkan orang-orang suku laut sebagai pelakunya.
Ironisnya, semua sifat dan perilaku positif orang-orang suku laut tersebut seperti tak berjejak dalam interaksi sosial di mata kebanyakan anggota masyarakat luar, terkikis oleh label Sekak yang telah telanjur berkonotasi negatif. Tidak mengherankan bila sebutan Sekak atau Orang Sekak sesungguhnya tidak disukai oleh orang-orang suku laut. Apalagi lanun atau ilanun.
Kalau boleh memilih, mereka sendiri lebih suka menyebut dirinya Orang Laut. ”Kami lebih suka lagi disebut Orang Sawang. Jadi, panggil saja kami Orang Sawang,” kata Batman (72), salah satu tetua adat Orang Sawang dari Pulau Lepar-Pongok, Bangka Selatan.
Masyarakat bahari
Orang-orang suku laut yang ada di wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah bagian tak terpisahkan dari komunitas besar masyarakat Nusantara yang pola hidup sehari-hari mereka berorientasi pada ekosistem kelautan. Sebutlah seperti orang Samal, Bajau atau Bajo yang bermukim di berbagai belahan lain Nusantara, terutama di perairan Indonesia bagian timur, serta orang Mapar, Mantang, dan Pasukuan di Kepulauan Riau.
Warna kulit mereka lebih gelap dibandingkan dengan masyarakat Bangka dan Belitung pada umumnya. Postur tubuh kaum prianya tegap dan kekar, dengan rambut (kebanyakan) ikal-keriting. Bahasa yang mereka gunakan memiliki banyak kesamaan dengan bahasa Melayu. Hanya saja, setiap kata dan kalimat dilafalkan lebih cepat, bahkan terkadang seperti gumaman, sehingga sulit dipahami oleh orang luar.
Dalam bahasa prosais, novelis Andrea Hirata (Laskar Pelangi, 2008:164) melukiskan Orang Sawang bagaikan Aborigin di Australia. ”Dibandingkan orang Melayu, penampilan mereka sangat berbeda. Kulit gelap, rahang tegas, mata dalam, pandangan tajam, bidang kening yang sempit, struktur tengkorak seperti suku Teuton, dan berambut kasat lurus seperti sikat,” tulis Andrea Hirata.
Mereka biasanya hidup berkelompok dalam satuan-satuan kecil, terdiri atas beberapa keluarga inti, dan menetap sementara di suatu tempat dalam jangka waktu tertentu. Di tempat-tempat permukiman sementara itu, biasanya di tepi pantai tak jauh dari pelabuhan, mereka mendirikan semacam gubuk-gubuk bertiang yang disebut sapao.
Walaupun pemerintah sudah berupaya ”memukimkan” mereka, kebiasaan hidup berpindah dan mengembara ke tempat lain—meski hanya di kawasan perairan Pulau Bangka dan Belitung, paling jauh di pesisir pantai Kalimantan Barat—masih berlangsung hingga kini. Rumah-rumah yang disediakan pemerintah, sebutlah seperti permukiman Orang Sawang di pinggiran Dusun Kumbung di Pulau Lepar, Bangka Selatan, tak ubahnya hanya semacam tempat singgah di sela-sela musim ”pengelanaan” mereka ke sejumlah pulau dan pantai di sepanjang pesisir Bangka dan dan Belitung.
”Dalam setahun siklus pengembaraannya, kelompok-kelompok itu biasanya menjalani rute perjalanan yang tetap: dari Tanjung Labu di wilayah Pulau Bangka ke wilayah perairan Pulau Belitung, atau sebaliknya. Mereka biasanya berhenti di tempat-tempat persinggahan tetap, yang dipilih sesuai dengan perubahan musim dan pergeseran arah angin,” tutur Salim Yan Albert Hoogstad, biasa dipanggil Salim YAH, pemerhati budaya dan tradisi masyarakat Belitung yang kerap berhubungan dengan orang-orang suku laut di daerah ini.
Kian menyusut
Tidak ada data persis berapa jumlah Orang Sawang, baik yang ada di wilayah Pulau Bangka maupun di Belitung. Kebiasaan hidup ”mengembara” yang masih berlangsung hingga kini, meski dalam radius terbatas di wilayah perairan Pulau Bangka dan Belitung, boleh jadi merupakan salah satu penyebab ketiadaan data tentang keberadaan Orang Sawang di tingkat pemerintahan provinsi maupun kabupaten/kota. Belum lagi ada di antara mereka yang sudah berasimilasi dalam bentuk ”kawin campur” dengan warga masyarakat dari etnis lain.
Namun, berdasarkan hitungan kasar yang diungkapkan Batman, keseluruhan Orang Sawang yang tersebar dalam kelompok-kelompok kecil di berbagai tempat di wilayah Bangka dan Belitung saat ini diperkirakan tidak lebih dari 100 keluarga. Dalam satu keluarga Orang Sawang biasanya terdiri atas 4-6 jiwa, walaupun ada juga hanya 2 orang, seperti Batman yang tidak punya keturunan. Bila hitungan kasar Batman tidak terlalu meleset jauh, populasi Orang Sawang saat ini kurang dari 600 jiwa. Angka ini jauh berkurang dibandingkan dengan hasil sensus oleh Pemerintah Hindia Belanda di enam distrik di Pulau Belitung (Tanjong Pandan, Lingan, Sidjoek, Boeding, Badau, dan Blantoe) yang dikeluarkan tahun 1851. Dalam Staat van de bevolking op Billiton (1851), dari 5.464 penduduk Belitung yang tercatat di enam distrik tersebut, tercatat 1.654 di antaranya adalah Orang Sawang yang diterakan sebagai Orang Laut atau Sekah/Sekak.
Populasi Orang Sawang yang berhasil didata adalah mereka yang diketahui relatif sudah ”menetap” di Tanjong Pandan, Sidjoek, dan Blantoe. Di luar itu, Orang Sawang yang tetap menjalankan ritus pengembaraan mereka di laut dan pulau-pulau kecil sekitar perairan Bangka dan Belitung tentunya luput dari pendataan. Jika saja sensus tersebut bisa menjangkau keseluruhan populasi Orang Sawang, tidak terbatas mereka yang ”menetap” di tiga distrik di Pulau Belitung, niscaya catatan tentang jumlah mereka akan jauh lebih besar.
Terlepas dari itu semua, kecenderungan semakin berkurangnya populasi orang-orang suku laut di daerah ini patut dicermati. Sejauh ini memang belum ada penelitian terkait penyebab kian menyusutnya populasi Orang Sawang. Namun, pengamatan selintas memperlihatkan, perlakuan diskriminatif dan rasialis atas mereka—diakui atau tidak—secara tidak langsung ikut berkontribusi terhadap fenomena tersebut.
Setidaknya, dalam catatan tanpa data yang disajikan Andrea Hirata, tingkat kelahiran di kalangan Orang Sawang termasuk sangat rendah, sementara pada saat bersamaan angka kematian tergolong tinggi. Salim YAH yang memiliki akses dan kedekatan cukup dalam dengan komunitas Orang Sawang juga melihat kecenderungan serupa.
”Dari waktu ke waktu, populasi mereka memang semakin berkurang,” kata Salim YAH ketika menemani Kompas dan tim survei dari Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) mengunjungi ”permukiman” Orang Sawang di wilayah Desa Paal Satu dan Juru Seberang, Tanjung Pandan, akhir 2009.
Meski tidak tahu penyebabnya, kenyataan ini diakui Batman. ”Begitulah adanya,” kata Batman yang kerap diminta memimpin upacara Muang Jong, salah satu ritual Orang Sawang untuk menghormati laut dan isinya.
Mak Una (69), perempuan Sawang dari Juru Seberang yang dikenal pula sebagai pawang atau dukun dalam ritual-ritual mereka, juga menyadari hal itu. Seperti halnya Batman, Mak Una pun melihat semua itu sebagai sesuatu yang bersifat alamiah. ”Sudah ada yang ngatur,” katanya.
Selain pola dan perilaku hidup mereka yang belum sepenuhnya menetap dan kental pada kepercayaan animisme, buruknya sistem pelayanan kesehatan terhadap masyarakat marjinal ini merupakan salah satu sebab menyusutnya populasi Orang Sawang. Akses terhadap fasilitas kesehatan, terutama pada mereka yang masih hidup ”mengembara”, masih tergolong sulit.
Alhasil, setiap masalah yang berkaitan dengan aspek kesehatan—termasuk masa kehamilan dan proses melahirkan—hanya ditangani dengan mengandalkan sistem pengobatan tradisional lewat ritual-ritual khusus. Tidak heran bila fungsi dukun di tengah-tengah kehidupan Orang Sawang masih memegang peran penting.
Apa yang dialami pasangan Ani Tjatjah (80) dan Siah (78) adalah contoh nyata betapa sesungguhnya Orang Sawang belum mendapat perhatian yang layak. Pasangan yang tinggal di pinggiran Desa Kumbung di Pulau Lepar, Bangka Selatan, ini sudah sejak lama mengalami kebutaan tanpa mendapat pelayanan kesehatan sedikit pun. Bahkan, dalam beberapa kali diadakan operasi katarak secara gratis di tingkat kecamatan, tak ada pihak yang mendaftarkan mereka sebagai peserta.
Ironis? Memang! (KEN)

Tidak ada komentar: